Friday, March 4, 2016

Kajian Ringan : Opini Publik VS Data Penelitian antara Penghasilan "Single" dengan Penghasilan "Menikah".. Versi Numan

Di pertengahan tahun 2015, banyak bermunculan meme/gambar/opini yang membanding-bandingkan jumlah pemasukan ( income ) perbulan antara “ suami istri “ yang keduanya sama-sama bekerja terhadap “suami istri“ yang hanya salah satunya bekerja, dengan pernyataan yang kurang lebih seperti ini :

JIKA

Penghasilan Suami ( bekerja ) + Istri ( bekerja ) = Rp. 10.000.000,

MAKA akan SAMA HASILNYA dengan :

Suami ( bekerja ) + Istri ( Tidak Bekerja ) = Rp. 10.000.000
(Asumsi ini berdasarkan pemahaman bahwa rezeki istri akan masuk ke dalam gabungan rezeki Suami).

Salah satunya seperti ini :


Di waktu lalu, saya tidak pernah berani untuk mengupas hal ini lebih dalam dikarenakan kurangnya data penilitian dan fakta di lapangan. Walaupun saya sangat meyakini statement diatas berdasarkan pengalaman pribadi, namun rasanya kurang pas untuk mengemukakannya tanpa ada bukti otentik yang bisa saya tampilkan. Dengan adanya data penelitian yang dipublikasi oleh “Qerja” baru-baru ini, maka dengan PD-nya saya berani mengungkapkan pendapat pribadi yang tentunya bukan untuk diperdebatkan apalagi untuk cari ribut. Hehe...
Di bawah ini adalah gambaran perbandingannya : (klik gambar untuk dapat melihat secara zoom)


Data ini didapat dari 1.119.211 koresponden dengan komposisi : 53% perempuan dan 47% laki-laki. Rentang waktu dilakukannya penelitian adalah antara pertengahan 2015 – Februari 2016. Bicara mengenai keakuratan, pastinya data ini tidak akan bersifat 100% akurat. Namun setidaknya, data penilitian dapat mewakili suatu pola yang hampir menggambarkan kondisi secara umum masyarakat di Indonesia. Tidak terkecuali saya ( hal yang saya rasakan di fase kehidupan setelah menikah).

Perbandingan antara laki-laki SINGLE dengan laki-laki MENIKAH, menunjukkan kenaikan penghasilan sebanyak 64%. Dan untuk wanita secara umumnya, terjadi fenomena yang unik dimana status pernikahan TIDAK BERPENGARUH secara signifikan terhadap penghasilan bulanan ( hanya 29% kenaikan ).

Entah darimana datangnya keyakinan pribadi saya saat itu – saat masih single ( 2011 ), bahwa ketika seseorang berkomitmen kuat untuk menikah ( terutamanya laki-laki ), maka pintu rezeki akan terbuka jauh lebih lebar dan luas. Karena dengan menikah, sejatinya seorang pria sudah berjanji akan menanggung seluruh kebutuhan istri baik itu sandang, pangan, papan, maupun kebutuhan tertier.

Dan sebelum menikah di 2012, saya memiliki permintaan terhadap calon istri untuk nantinya menjadi istri yang 100% mensupport dari rumah ( hehehehe.. ). Alasannya simpel :
1. Saya tidak rela jika istri disuruh-suruh apalagi sampai bekerja lembur
2. Saya tidak rela jika istri sampai kena teguran/omelan dari BOS
3. Saya tidak rela kalo sampai ada yang godain ( hahahaa… ini alasan jujur banget )

Karena kebetulan beliau mahasiswi jurusan Akuntansi kala itu, maka tugas utamanya adalah membuat detail laporan pengeluaran dan pemasukan bulanan dari gaji yang mudah dipahami oleh suami yang sangat lemah di pelajaran akuntansi sedari SMU dan Kuliah ( hahaha.. ).

Lagi-lagi keajaiban terjadi pada diri saya. Sesuatu yang sepertinya sangat sulit dicerna secara logika, karena dari sisi penghasilan terjadi lonjakan sebesar 200% per bulan setelah menikah. Dan skemanya kurang lebih seperti ini :
Jika sebelum menikah :
Numan BEKERJA (A) + Calon istri BEKERJA ( B ) = C ( jumlah penghasilan numan + penghasilan calon istri )
Maka setelah menikah :
Numan bekerja (A) + Istri tidak Bekerja ( B ) = D ( (Jumlah penghasilan numan) x 2 + pendapatan rutin tak terduga )

Lonjakan pendapatan ini yang sebenarnya sangat sulit untuk dicerna logika, dikarenakan semuanya datang secara mendadak dan melalui proses yang sama sekali tidak rumit.

Pesan yang mungkin bisa dipetik dari kisah perjalanan ini, adalah perlunya mental “yakin” bahwa dengan menikah rejeki kita tidak akan berkurang. Malah semakin bertambah dan bertambah. Untuk para suami, mungkin kurang tepat jika melontarkan pernyataan seperti : “ kalo nanti kita menikah, kamu harus tetap bekerja ya..supaya keuangan kita tetap stabil “. Jika seperti itu yang terucap, maka sepertinya kita sebagai insan ciptaan Allah sangat meyakini bahwa “BEKERJA” adalah satu-satunya cara untuk memenuhi rezeki harian. Padahal Allah bisa memenuhi rezeki manusia dengan jutaan cara.

Hingga saat ini, saya meyakini betul bahwa segala sesuatu yang saya dapatkan ( baik itu rezeki uang, rezeki pekerjaan, rezeki liburan gratis,.hehehe ) tak luput dari do’a yang dipanjatkan istri melalui sujudnya yang ikhlas di sajadah rumah dan lantunan do'a disaat suaminya sedang bekerja dikantor. Dengan dilakukannya ibadah dirumah, istri akan memiliki lebih banyak waktu untuk mengadu, mengangkat tangan memohon pengkabulan kepada Allah.
Timbul pertanyaan : “ emangnya ga bisa klo berdoa di lingkungan kantor ?”. Jawaban saya : “ Tentu bisa. Tapi ga akan bisa lebih dari 30 menit “ ( Asumsi total waktu istirahat 1 jam, 30 menit untuk makan & sisanya untuk sholat dan berdo’a “. Di beberapa perusahaan bahkan ada peraturan ketat bahwa waktu sholat tidak boleh lebih dari 15 menit.

Sekali lagi penulis menegaskan, bahwa tulisan ini bukan untuk mencari ribut apalagi berdebat. Hanya semata-mata mengungkapkan pendapat dan pengalaman pribadi yang ditunjang dengan data penelitian. Barangkali ada yang tergugah, penulis hanya berharap balasan kebaikan dari Allah. Amin.

Wassalam.

Temukan " NmN " di Usia 26 Tahun,. Saya MALU !!!

Ketika kami memutuskan menikah di 2012, saya membebaskan segala kegiatan positif istri dengan hanya mengajukan satu syarat saja : “ please, ...